Eksklusivisme
Pengertian
Eksklusivisme adalah salah satu cara pandang kekristenan terhadap
agama-agama non-Kristen. Pendekatan eksklusivisme merupakan salah satu
pendekatan di dalam studi teologi agama-agama.
Pendekatan eksklusivisme menyatakan bahwa agama Kristen merupakan satu-satunya
jalan keselamatan.[1]
eksklusivisme/eks·klu·si·vis·me/éksklusivisme adalah paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. [2]
eksklusivisme adalah paham
yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat: di
kota besar terdapat gejala- , terutama pada orang yang berada. [3]
eksklusivisme adalah paham yg mempunyai kecenderungan
untuk memisahkan diri dr masyarakat.[4]
Pandangan ini menegaskan
bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk menerima keselamatan. Eksklusivisme
atau disebut juga dengan Partikularisme, dibagi ke dalam dua kelompok.
Pertama adalah
partikularisme “terbatas” atau restrictive particularist. R. Douglas Geivett
dan W. Gary Philips yang mewakili kelompok ini berpendapat adanya keharusan
pengakuan pribadi kepada Yesus. Karena itu, setiap orang harus percaya dan
menerima Yesus secara eksplisit agar diselamatkan. Jadi, kita melihat dua hal
penting di sini. Pertama pengakuan bahwa Yesuslah satu-satunya jalan
keselamatan. Kedua, perlunya pengakuan pribadi secara eksplisit, yaitu percaya
dan menerima Yesus. Ini berarti menyangkali kemungkinan seseorang dapat
diselamatkan tanpa pengakuan secara sadar dan eksplisit kepada Yesus
satu-satunya juru selamatnya.
Kedua adalah
partikularisme “tidak terbatas” atau nonrestrictive particularist. Ronald Nash,
Alister McGrath yang menganut pandangan ini percaya bahwa Yesus adalah
satu-satunya jalan menuju keselamatan. Kelompok ini juga melihat pentingnya
pengakuan pribadi yang secara eksplisit diberikan kepada Yesus. Namun demikian,
kelompok ini tidak membatasi (nonrestrictive) keselamatan hanya terjadi karena
pemberitaan Injil. Mereka melihat kemungkinan adanya keselamatan di luar pemberitaan
Injil, di mana hal itu tergantung kepada rahmat dan kasih setia Allah. Sebagai
contoh, Alister. E. McGrath seorang dari kelompok partikularist menegaskan
keyakinannya bahwa mereka yang berespons dengan percaya kepada pemberitaan
Injil akan diselamatkan. Namun, setelah menegaskan keyakinannya tersebut,
kemudian McGrath menegaskan: “We cannot draw the conclusion from this, however,
that only those who thus respond will be saved”. Dia
berpendapat bahwa wahyu Allah tidak dapat dibatasi kepada usaha manusia,
seperti khotbah, tetapi melampaui itu. Karena itu, dia menantang orang-orang
kelompok Eksklusif Terbatas untuk bersedia mengalami kejutan-kejutan, yaitu
ketika kelak dalam kerajaan surga ada orang yang dianggapnya tidak selamat,
ternyata juga turut di sana.[5]
Dari beberapa data atau
sumber yang kami temukan ini, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa
eksklusivisme merupakan sikap untuk memisahkan diri atau kelompok agama dari
agama lain, karena menganggap bahwa agamanyalah yang paling baik. Bukan hanya
agama kristen saja yang menganggap bahwa agamanya yang paling baik, namun
agama-agama lain juga demikian seperti agama islam, hindu, budha, dan khong hu
cu. Dalam islam lebih terkenalnya dengan kelompok radikalisme, gerakan
ini dikatakan radikal karena lebih
mengedepankan pemahaman literal terhadap teks dan cenderung mudah menggunakan
kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka. Mereka
menganggap baik jika mereka melakukan suatu bom bunuh diri terhadap orang kafir
atau yang disebut juga menggunakan kekerasan.
Agama-agama lain memiliki pemahaman
sendiri tentang eksklusivisme, namun dalam pembahasan kali ini kami akan hanya
menggunakan contoh dua agama saja yaitu agama Kristen dan Islam. Karena kami
melihat hal yang menonjol atau sering mendapat sorotan adalah dua agama ini.
Namun dalam keyakinan kami sendiri bahwa agama kristen adalah agama yang paling
benar dan memiliki kepastian menenai jalan keselamatan. Kami harapkan dalam
pembahasan yang akan kami bahas ini dapat menambah pengetahuan menganai paham
eksklusivisme dari dua contoh agama yang akan kami bahas ini.
Eksklusivisme Kristen
Pertama, pandangan eksklusivisme memiliki pandangan
eksklusif mengenai keselamatan. Eksklusivisme menegaskan bahwa hanya di dalam
agama Kristen ada kebenaran dan keselamatan, sedangkan diluar agama Kristen
sama sekali tidak ada keselamatan. Ayat yang digunakan umumnya adalah kitab Kis
4:12 dan Yoh 14:6. Dalam Gereja Katolik, Paus Bonifasius VIII merumuskan
pandangan ini dalam semboyan “Extra ecclesia nulla salus” yang berarti “diluar
gereja tidak ada keselamatan”.
Teolog yang mewakili
pandangan eksklusif adalah Karl Barth
dan Hendrik Kraemer. Barth
berpendapat bahwa agama adalah ketidak percayaan. Agama-agama merupakan upaya
manusia yang sia-sia untuk mengenal Allah. Allah hanya bisa dikenal kalau Allah
sendiri yang memperkenalkan Diri-Nya. Allah sudah memperkenalkan diri-Nya
didalam dan melalui Yesus Kristus. Injil adalah anugerah Allah di dalam Yesus
Kristus, sedangkan agama-agama adalah upaya manusia yang sia-sia. Sebab itu,
tidak ada hubungan antara Injil dengan agama-agama. Tidak ada hubungan antara
anugerah Allah di dalam Yesus Kristus dengan upaya sia-sia manusia. Ini juga
berlaku bagi agama Kristen. Tetapi agama Kristen dibenarkan karena Injil
anugerah yang dipegangnya.
“Hendrik
Kraemer mempunyai pandangan bahwa setiap orang yang belum mengenal dan
diperbaharui dalam Yesus, ia tidak akan pernah mengenal Allah yang
sesungguhnya. Maka menurutnya orang di luar kekristenan tidak ada keselamatan”.[6]
Hal yang disampaikan oleh Karl Barth dan Hendrik Kraemer hampir memiliki
kesenadaan, namun beda argumen disampaikan Kraemer,
yang berpendapat bahwa penyataan di dalam Yesus Kristus merupakan kriteria
satu-satunya yang dengannya semua agama-agama, termasuk agama Kristen, dapat
dimengerti dan dinilai. Yesus Kristus ditempatkan sebagai satu-satunya kriteria
dalam memahami dan menilai agama-agama. Penyataan umum diakui keberadaannya,
teologi naturalis, tetapi tidak berdiri sendiri. Penyataan umum itu harus
terkait dalam penyataan diri Yesus. Titik tolak Kraemer adalah “biblical
realism” (kenyataan alkitabiah) yang mengandung dua hal: realitas alkitabiah
menunjuk pada kesaksian mendasar Alkitab tentang kemahakuasaan Allah dan
keberdosaan manusia yang diperhubungkan dengan inkarnasi Yesus Kristus; dan
pandangan mengenai agama-agama lain sebagai sistem yang meliputi segalanya,
yang masing-masing ditandai pemahaman-pemahaman tersendiri akan totalitas
eksistensi. Sebab itu, antara Injil dan agama-agama tidak ada kesinambungan.
Eksklusivisme
Islam
“Ekslusivisme
dalam Islam sesuai pemaknaannya adalah “pemisahan antara keyakinan ( Iman )
dengan muamalah ( kehidupan sehari-hari )”. Maka sangat amat diperlukan bagi
identitas seorang muslim, karna seorang muslim dalam menjalankan keyakinannya
memerlukkan pemisahan antara pemikiran yang berasal dari hukum syar’i dengan
hukum positif. Disini eksklusivisme berperan sebagai sekat untuk
membendung keimanan seorang muslim dari mesin blender peradaban barat yakni pluralisme.
Tidak bisa kita elakkan pluralisme saat ini mencekram akidah dan akhlak manusia
muslim Indonesia, terjadi degradasi akidah yang akut menghinggapi muslim
Indonesia”.[7]
“Ternyata,
materi dialog yang pernah berlangsung sejak 14 abad yang silam itu masih
relevan untuk dibicarakan kembali saat ini. Diyakini pula, sampai kapan dan
dimana pun dialog tentang eksklusivisme dalam Islam itu berlangsung, bila
narasumbernya mengacu pada Al – Qur’an dan Al- Hadist, maka substansinya tidak
mengalami perubahan. Dinamikanya mungkin hanya berada di seputar perbedaan
interpretasi historis dan kultural. Bilamana kompleksitas ajaran agama Islam
dipahami dalam konteks hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhannya
(hablumminallah) maupun hubungan antar sesama manusia (hablumminannas), maka
ajaran yang bersifat eksklusif terutama berbasis pada teologi (tauhid), yakni
berkaitan dengan hablumminallah. Di luar itu, eksklusivisme ditemukan secara
terbatas pada beberapa hal saja menyangkut hubungan antar sesama manusia.
Eksklusivisme berakar pada sendi (rukun) Islam yang pertama, yakni
Asy-syahadatain : Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah kecuali
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Sendi ini merupakan
pintu gerbang ajaran Islam. Setiap orang yang secara ikhlas dan dengan penuh
kesadarannya mengucapkan kedua kalimat kesaksian ini maka ia diakui beragama
Islam. Semua perkara lainnya dalam ajaran Islam dibangun atas landasan ini.
Allah, yaitu tuhan yang berhak disembah dalam pandangan Islam adalah Dia yang
mengutus Muhammad, Dia yang mewahyukan kitab Al-Qur’an kepada Muhammad untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia agar menjadikannya sebagai pedoman
hidup. Di dalam kitabNYA (Surah Al - Ikhlas : 1- 4) Allah menyatakan dirinya
bahwa : ”Dia adalah Allah yang Maha Esa, Dia adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia”. Islam memandang semua orang yang
tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat utama seperti itu, begitu pula
tidak percaya bahwa Muhammad sebagai rasul Allah, termasuk ajaran yang
dibawanya (Al- Qur’an), maka mereka itu disebut sebagai orang kafir, artinya
pengingkar, pembangkang, atau penentang. Begitu pula, walaupun mereka yang
beriman kepada Allah, namun di samping itu mereka masih juga meyakini tuhan –
tuhan lainnya, maka golongan ini disebut musyrik, artinya menyekutukan Allah
dengan ”sesuatu” yang lain (baik manusia, maupun bukan manusia). Sebagai
konsekuensi dari kesaksian atas kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) : tidak
ada Tuhan yang berhak disembah, adalah mengenai tata cara penyembahan kepada
Allah. Sesuai dengan kalimat kesaksiannya atas kerasulan Muhammad SAW, maka
orang yang bersangkutan harus melakukan ritual penyembahan kepada Allah menurut
tuntunan dan teladan Muhammad Rasulullah SAW. Pandangan mengenai kekafiran dan
kemusyrikan ini tidak hanya terhadap penganut agama non Islam, tetapi juga
terhadap orang yang mengaku sebagai penganut agama Islam namun masih memiliki
keyakinan dan tindakan dalam beribadah yang bertentangan dengan pernyataan
kesaksiannya itu. Dalam aspek pluralitas sosio-religius, Islam tidak mengenal
kompromi dalam masalah ketuhanan dan tata-cara penyembahannya”.[8]
Intinya
bahwa saya memandang agama ini melakukan eksklusivisme dengan cara-cara radikal
namun di antara meraka juga ada yang melakukan eksklusivisme dengan baik.
Eksklusivisme memang terkesan tidak baik apa lagi di indonesia ini kita melihat
banyak dari mereka melakukan cara-cara yang kurang baik untuk mempertahankan
ajaran mereka.
Kesimpulan
Kami beranggapan bahwa
eksklusivisme, merupakan suatu apologet untuk mempertahankan nilai kebenaran
yang di anut oleh setiap agama. Dalam hal ini kami memandang di dalam segi
kekristenan pun eksklusivisme baik untuk di lakukan namun harus mengikuti
kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat jika tidak maka ini akan menjadi
persoalan baru. Kita sebagai orang yang sudah mengerti kebenaran harus
berhikmat saat akan menyampaikan kebenaran atau mempertahankan nilai-nilai
kebenaran yang kita miliki.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Eksklusivisme
[2] http://kbbi.web.id/eksklusivisme
[3] http://artikata.com/arti-326052-eksklusivisme.html
[4] http://www.kamusbesar.com/9883/eksklusivisme
[5] http://reformata.com/news/view/249/sekilas-tentang-eksklusivisme
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Eksklusivisme
[7] http://wahyuyulianto88.blogspot.co.id/2012/09/eksklusivisme.html
[8] http://musabdurrahman.blogspot.co.id/2012/07/eksklusivisme-dan-inklusivisme-dalam_30.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar